Petualangan Gadis Spanyol di Sulawesi Selatan. Part 1

Natalia, gadis ramah dari Bilbao, Spanyol bersama penulis sesaat sebelum sesi wawancara dimulai di Villa Malomo, Bira, Sulawesi Selatan, Indonesia. Foto pada Rabu, 14 Agustus 2024.

Keinginan untuk mengenal dunia luas ini membuat manusia berani untuk melangkah. Natalia, seorang pemudi periang dari Bilbao, Spanyol berkunjung ke Bira. Seorang diri berkeliling tanpa ada rasa takut sedikit pun yang terpancar di wajahnya. Alasannya sederhana. Kebaikan berbalas kebaikan. Tak heran, dia suka tersenyum yang membuatnya mudah diterima kemana pun dia pergi.

Sebagai seorang pelancong, Natalia suka berjalan kaki sepanjang kawasan wisata Bira. Ia menemukan pantai yang sangat indah, airnya yang sangat jernih dan hangat, sesuatu yang sangat berbeda dengan di pantai utara di Spanyol yang dingin. Pantai Bira itu berpasir putih yang cukup bersih dimana hal itu dia tidak temukan di tempat dimana dia tinggal. Pantai juga menawarkan ketenangan karena tidak ramai tidak seperti di Bali yang penuh keramaian.

Itulah mengapa Natalia betah dan memilih untuk tinggal selama seminggu. Sebagai konsekuensinya, dia akan lebih banyak menikmati diri bermandikan matahari di pantai dan jalan-jalan melihat pepohonan rindang yang tumbuh liar di atas batu karang dan sesekali beruntung melihat monyet-monyet berekor pendek khas sulawesi selatan dikenal dengan istilah Macaca Maura, keluar dari hutan semak-belukar mencari makanan ke daerah pemukiman tanpa pernah mengganggu manusia. Sedikitnya, itu menjadi nilai tambah yang jarang terpublikasikan ke media sebagai bagian dari objek wisata. Dia tertarik dengan semua itu. ‘Bila tidak, dengan segera dia akan pergi’, katanya.

Natalia pun juga sempat berkunjung di Kajang dimana kehidupannya masyarakatnya menyatu dengan alam. Dia sangat tertarik melihat cara hidup orang-orang Kajang yang sungguh berbeda dengan membandingkan kehidupan di Eropa yang serba modern dimana hal ini tidak bisa ditemukan di Eropa. Menurutnya, beberapa tempat di Indonesia kehidupannya modern tapi beberapa tempat hidup dengan cara tradisional seperti di Kajang.

Kesannya. Natalia harus berjalan dengan kaki telanjang tanpa sendal atau sepatu memasuki kawasan adat Kajang di Amma Toa yang membuatnya kesakitan untuk berjalan karena semua orang yang masuk tidak boleh memakai alas kaki guna sebagai bagian mendekatkan diri kepada alam. Hal ini untuk mengingatkan bahwa manusia terlahir dari tanah dan akan kembali ke tanah. Rasa sakit yang jarang dialami Natalia ini membuatnya punya ingatan panjang namun itu seolah terobati saat dia melihat anak-anak berjalan kaki dengan riang gembira dan berjalan dengan cepat, tanpa beban sama sekali. Itu manakjubkan!

Di kawasan Amma Toa, Orang-orang terlihat bahagia menjalani kehidupannya masing-masing karena tiap orang berhak punya pilihan. Bagi yang ingin hidup tanpa peralatan seperti listrik, mesin, handphone dan segala peralatan modern, bisa tinggal menetap di kawasan. Tapi bila ingin kehidupan modern, silahkan keluar dan saat mereka ingin kembali, segala kehidupan modern itu harus ditinggalkan. Begitulah Amma Toa bersama rakyatnya menjaga kelestarian alam ini.

Maka tidaklah mengherankan, senyum sumringah biasa kita temukan terpancar dari wajah-wajah orang desa karena selain mereka hidup dengan penuh kesederhanaan tanpa banyak kepentingan materi atau kekuasaan, mereka juga menyakini bahwa hubungan baik sesama manusia itu perlu dijaga agar manusia dapat hidup di alam ini dengan bahagia.

Natalia sempat mengunjungi rumah Amma Toa, Sang Kepala Adat yang rumahnya yang berlantai dan berdinding dari bambu dan bertemu. Karena orang-orang Kajang berpakaian hitam dan tiap pengunjung juga wajib berpakaian hitam menarik perhatian Natalia untuk bertanya. ‘Mengapa orang-orang berpakaian hitam?’, tanya Natalia.  Amma Toa mengatakan, ‘Ketika manusia lahir, semuanya yang dia lihat hitam.’ Warna adat Kajang ini juga sebagai bentuk persamaan dalam segala hal; kesederhanaan, kekuatan dan persamaan derajat manusia di hadapan Sang Pencipta.

Sisi lain yang mengagumkan buat Natalia saat bertamu ialah sebuah keluarga dari pulau Kalimantan jauh-jauh berkunjung agar berkenan diobati oleh Amma Toa. Baginya, itu mengagetkan melihatnya secara langsung karena itu sepertinya tidak ditemukan Natalia di negaranya. Sebenarnya, bagi masyarakat Sulawesi Selatan, pengobatan tradisional disertai dengan ramuan dedaunan adalah tradisi yang bertahan lama. Pilihan rakyat ke Amma Toa karena dipercaya bahwa Amma Toa adalah orang yang tidak banyak tergantung pada kehidupan materi dimana doa-doanya membuat pintu langit lebih mudah terbuka untuk diterima oleh Sang Pencipta.

Yang terakhir dikisahkan oleh Natalia adalah kunjungannya di Sulawesi Selatan adalah Rantepao di Tanah Toraja. Dia turut serta pada acara kematian.  Dia menemukan makna bahwa semakin banyak kerbau yang dikorbankan untuk orang yang meninggal, semakin baik juga kehidupan orang yang telah meninggal tersebut di alam baka. Sisi lain adalah power. Orang yang punya status sosial di masyarakat yang tinggi merasa perlu melakukan pengorbanan yang lebih besar.

Acara ini melibatkan banyak orang dan layaknya pesta yang panjang. Bersama dengan masyarakat setempat, Natalia juga turut diajak bergabung menikmati makanan dan ditawarkan untuk mencicipi beragam menu yang tersedia. ‘Coba ini, coba itu’, kata orang. Dan itu adalah keramahtamahan penduduk lokal dalam menyambut para tamu.

Dibalik itu, hal utama yang Natalia pikirkan tentang bagaimana orang orang Toraja memberi penghargaan kepada orang meninggal. Seperti kebanyakan orang-orang di dunia, orang meninggal itu dikubur sedangkan di Toraja tidak dikubur. ‘Kita manusia tidak melupakan tapi tidak melihatnya lagi. Itu sulit membayangkan bagaimana orang yang meninggal dikeluarkan dan dibersihkan sebagaimana orang-orang lakukan di Rantepao’, terangnya. Bila saja kejadian ini terjadi pada keluarga Natalia, ‘Saya tidak pernah membayangkan bagaimana saya membersihkan ibu saya’, tambahnya.

Begitulah keragaman budaya itu berlaku. Perbedaan itu terus terbentang di sepanjang jalan kehidupan. Mari kita simak yang berikutnya. Toraja juga terkenal dengan bangunan rumahnya yang unik. Awalnya Natalia berasumsi bahwa rumah itu kecil sebagaimana yang dia lihat melalui foto namun pada kenyataannya itu adalah rumah yang besar yang mempunyai seni arsitektur yang khas berbeda.

Begitulah! Betapa pentingnya manusia terus bertebaran di muka bumi agar dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang terkadang tidak semuanya tertera di dalam buku-buku. Kemampuan beradaptasi sebagaimana yang dilakukan Natalia gadis petualang berusia dua puluh empat tahun yang selalu tersenyum manis layaknya orang Indonesia yang ramah dan dengan pemikiran terbuka patut diikuti. Layaknya pepatah Melayu, ‘Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak.’ And Natalia did it well.

Zulkarnain Patwa
Pengajar Bahasa Inggris di Rumah Belajar Bersama

* Note: Tulisan ini berdasarkan hasil wawancara podcast di Villa Malomo, Bira, Sulawesi Selatan pada Rabu, 14 Agustus 2024. Video menyusul.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *