Presiden yang Aneh

Perkenalan penulis dengan Nur Asdar Ilahi ini cukup unik. Semasa Ospek di SMA 1 Bulukumba pada 1998, penulis dengan lancang beradu argumentasi dengan Ketua OSIS bersama pengurusnya dan termasuk guru guru pembicara pada penataran siswa baru.

Betapa tidak, penulis sudah banyak membaca buku buku yang bukan pelajaran sekolah. Sebutlah Khilafah dan Kerajaan karya Abul A’la Al Maududi yang mana pengantarnya adalah Amien Rais. Di Bawah Bendera Revolusi karya Soerkarno. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Michael H. Heart. Revolusi Iran karya Nasir Tamara. Psikologi Komunikasi karya Jalaluddin Rakhmat. Banyaklah. Yang jelas buku buku tersebut tidak dimengerti oleh kebanyakan pelajar tamatan SMP sehingga penulis merasa cukup percaya diri “melawan” siapa pun. Penulis memang terbebas dari kemiskinan intelektual untuk ukuran pelajar remaja tapi terjebak dalam kesombongan intelektual.

Semua keberuntungan bacaan buku itu penulis dapatkan dari ayah Drs. H. Patiroi yang punya ribuan koleksi buku yang mencakup Bahasa Inggris, Arab dan Indonesia di rumah. Pasca Indonesia merdeka, ayah penulis bagian dari segelintir orang yang memperoleh beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar ke Jawa bersama dengan Dokter senior Mudassir Sabarrang , ayah dari dokter Timurleng Tonang Mataallo . Ada juga Pak Tajuddin Lambero yang merupakan pentolan Muhammadiyah di Bonto Tiro. Ada juga beberapa orang dari Kota Bulukumba. Sayang, karena ayah sudah almarhum,  penulis tidak sempat menulis detail siapa siapa mereka.

Segala macam referensi itulah penulis gunakan untuk beradu akal. Pendek cerita, penulis langsung vokal, populer dan berefek positif dengan dinobatkan sebagai Presiden untuk siswa baru. Istilah “Presiden” ini aneh tapi waktu itu, penulis terima saja karena merasa suka aja mendengarnya. Tidak perlu repot mendebat urusan istilah.

Nasib kurang beruntung dialami rekan rekan siswa baru. Mereka benar benar dipolonco oleh Pengurus OSIS. Penulis memang tidak pernah ditindaki secara fisik tapi kan sebagai Presiden, masa tidak punya pembelaan. Bila tidak bisa memperjuangkan nasib rekan rekan, tidak ada gunanya jadi Presiden. Di sini lah, penulis menarget M. Asfar Nurdin, Ketua OSIS SMA 1 Bulukumba.

Di ruang pertemuan besar dimana seluruh pelajar berkumpul, penulis dengan lantang menuduh pengurus OSIS di bawah kepemimpinan Asfar Nurdin tidak konsisten dan tidak shalat. Seluruh siswa baru disuruh shalat dhuhur tapi setelah shalat, sepatu hilang sebelah. Siapa yang ambil? Pengurus OSIS lah. Masjid penuh berisi siswa baru dimana tidak ada satu pun pengurus OSIS terlihat shalat. Tidak mungkin orang luar sekolah masuk ambil sepatu karena sekolah dikelilingi pagar tembok.

Segera setelah protes selesai, semua orang disuruh tunduk dan dapat jatah pukulan lagi. Saat penulis ikut menunduk, tiba tiba Asfar Nurdin membawakan sepatu penulis yang hilang sebelah. Semakin jelas pelakunya tapi penulis terkesan dengan itikad baiknya. Boleh juga ini orang. Tapi kenapa cuma satu orang diperlakukan demikian? Pertanyaan ini tidak sempat terucap. Karena saking senangnya tidak akan dimarahi ummi (baca: ibu) bila tidak kehilangan sepatu, penulis langsung mengucapkan terima kasih.

Setelah beberapa hari Ospek, di suatu sore ketika hendak pulang, penulis bertemu dengan seseorang di pos pintu keluar sekolah. “Ini Nain ya? Adiknya Iful dan Kak Alam?” Sapanya dengan ramah. “Oh iye. Kak Asdar Kan. Temannya Kak Iful. Penulis memang mengenal wajahnya. Cara berkomunikasinya juga elegan. Ya, semacam punya daya tarik kepemimpinan lah. Dengan pesona yang natural tersebut, wajarlah bila ia pernah menjadi Ketua OSIS di SMP 1 dan SMA 1 Bulukumba. Pada masanya, Kak Asdar orang terpopuler secara organisatoris dan Kak Iful (Saiful Patwa) adalah best of the best dalam hal pelajaran sekolah karena ia satu satunya pelajar yang yang terpilih di sekolah khusus namanya BPG di Makassar.

Penulis bertanya dalam hati, mengapa Kak Asdar di sini? Bila ia datang untuk membela sang Ketua OSIS Asfar Nurdin, penulis kan sudah berdamai dengannya. Mungkin ia silaturahmi saja karena bagaimanapun ini adalah sekolahnya juga dari 1991 sampai 1994. Sejurus kemudian, sebelum semua itu terjawab, pertanyaan mengagetkan muncul. “Katanya Nain kagum sama Hitler ya. Mengapa?”, Ini benar benar menghentak. Dari mana ia tahu segala penjelasan penulis semasa Ospek? “Oh iya. Menurut Michael Heart dalam buku Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, tidak ada orang yang pernah mengusai 2/3 Eropa selain Hitler. Sang penakluk sekaliber Alexander The Great pun tidak”, terang penulis dengan nada sopan.

Karena Kak Asdar adalah orang yang enak diajak berkomunikasi, perdebatan tidak terjadi. Kami pun melanjutkan dialog yang terjadi semasa Ospek. “Kata pembawa materi, bila zaman Orde Baru, saya sudah ditangkap karena saya bertentangan dengan Pancasila. Saya menjelaskan bahwa yang tidak bisa berubah itu Al Qur’an. Semua hukum buatan manusia pasti bisa berubah. Panca Sila itu kan buatan manusia”, terang penulis yang terpengaruh dengan Al Maududi terjemahan Pak Amien Rais tersebut. Macam macamlah diskusinya seputar tentang Ospek selama hampir seminggu.

Yang menarik dari Kak Asdar adalah ia mau mendengarkan secara utuh terhadap suatu permasalahan. Tak lupa ia pun selalu bertanya referensi terhadap sebuah argumen yang agak tajam. Dan bila berbeda pendapat, ia pun tidak menohok secara langsung. Penulis tahu bahwa ia tidak sepakat dengan Hitler namun ia punya cara yang elegan dengan berbagi referensi bacaan untuk menambah khazanah intelektual. Dan ia benar. Keunggulan ras Arya sebagaimana klaim Hitler hanyalah elok dalam pidato saja. Dan bentuk negara Islam pun di berbagai macam negara tafsirnya beragam.

Teringat dengan segala kenangan baik tersebut, penulis sempat mengunjungi rumah Kak Asdar sewaktu liburan kuliah sekitar tahun 2002. Kesan pada waktu itu, Kak Asdar orang yang punya harapan besar untuk dapat menimba ilmu lebih banyak. Dan sekarang 2023 ini, ia adalah bagian dari dosen berbakat yang merupakan aset berharga untuk pengembangan kwalitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh Universitas Muhammadiyah Bulukumba.

Zulkarnain Patwa
Pengajar Rumah Belajar Bersama

Note:
Foto di atas adalah sebuah persiapan untuk membedah buku Detik Detik yang Menentukan, Jalanan Panjang Indonesia menuju karya B. J. Habibie. Sumber foto: Rumah Belajar Bersama

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *