Nisa sometimes tired of playing with her friends and directly take a book that she likes and then read by herself.
We love what she does and take this picture.
Zulkarnain Patwa
Program dan mata pelajaran dari Rumah Belajar Bersama

Nisa sometimes tired of playing with her friends and directly take a book that she likes and then read by herself.
We love what she does and take this picture.
Zulkarnain Patwa

Are you ready to have high qualification in English? This young man, Aufa, is preparing himself to study abroad and doing a lot of lessons and exercises in reading, pronunciation, speaking and grammar in order to make his dreams come true.
Zulkarnain Patwa

What you usually do in your childhood will have great influence to your future life. If a child is used to studying, he or she will smart enough to determine his or her life.
Zulkarnain Patwa

A girl who nine years old, 4th class at 230 Elementary School Palambarae Bulukumba District is very talented student in English. Les in a moth, Adeeva could finish her basic reading book. And now she has a good pronunciation and can practice simple Conversation with her classmates.
Adeeva is trying to understand the passages in her second book and answering a lot of questions. She doesn’t understand grammar at all because she doesn’t take that class. Fortunately, her class teacher always happy to help her by giving simple explanations how to answer questions in her passages. According to the teacher, now can can understand five passages and answer all questions in every passage.
That’s a great work, Adeeva. Keep doing great work. You are the future of the world. Good luck.
Zulkarnain Patwa

There is a time when the children want to read books without asking to read. How is it possible? This little cute kid is Imbang Perdanasair’s daughter. What do you think, Imbang?
Zulkarnain Patwa

Tiap tiap orang di bumi Indonesia ini haruslah punya kebebasan berpikir dan bertanggungjawab, kata B. J. Habibie. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan mencerdaskan generasi anak bangsa dengan tindakan nyata.
Didik generasi dengan sungguh sungguh dan para pendidik harus mau terus belajar menambah ilmu pengetahuannya.
Foto pada kunjungan Noemie Fieux dari Perancis yang berkunjung ke Rumah Belajar Bersama di Bulukumba
Zulkarnain Patwa
* Pengajar Rumah Belajar Bersama

Bukan Umur tapi Kemampuan
Aiska pelajar SD ini telah berhasil menamatkan dua buku bacaan berbahasa Inggris dan telah tahu cara menjawab soal-soal cerita berbahasa Inggris.
Konsistensi diri Aiska pada minat dan bakatnya ini menyakinkan kita bahwa dia adalah salah satu anak yang akan mahir berbahasa Inggris dan tentunya ini modal yang bagus untuk mempelajari bahasa internasional lainnya karena telah mengerti seluk beluk bahasa.
Sekarang, Aiska berhak masuk kelas Pre Intermediate. Kita ingin dia nantinya mendapatkan pelajaran tingkat tinggi meskipun dia masih anak anak. Selama dia benar benar lulus tahapan demi tahapan, kita tidak akan ragu menawarkan pelajaran tingkat SMA dan lainnya betapa pun dia masih SD. Ukuran kita bukan umur tapi kemampuan.
Zulkarnain Patwa
Pengajar Rumah Belajar Bersama

Satu adalah Pak Najib yang mempunyai tradisi turun temurun dari nenek moyangnya dari Lemo-Lemo sebagai ahli pembuat perahu kayu Pinisi dan perahu kayu sesuai pesanan pembeli. Dia juga sarjana Matematika di Universitas Hasanuddin, Makassar sehingga cara pembuatan perahunya sedikit banyak dipengaruhi ilmu hitung mendalam selain insting.
Kedua Horst Liebner. Ia pakar Pinisi yang berhasil menyerap pengetahuan lokal cara pembuatan perahu Pinisi dan perahu kayu lainnya di Indonesia. Keilmuannya bukan saja diakui dalam dunia akademik dengan gelar doktor tapi dia diakui oleh para panrita lopi (ahli pembuat perahu). Horst mengenal baik pembuatan perahu tradisional Indonesia dan tekun menulis tentang maritim. Keberadaannya di Tanah Beru sekarang untuk Pinisi Perla Anugerah Ilahi yang sedang dalam tahapan pembenahan untuk pelayaran selanjutnya.
Dan ketiga yang di tengah adalah orang yang sekedar numpang foto. 😀
Senin, 19 Agustus 2024 di Pusat Pembuatan Perahu di Tanah Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Zulkarnain Patwa
* Pengajar Rumah Belajar Bersama
* Pemerhati Pinisi

Terlahir sebagai anak pelaut dengan dengan keseharian hidup berada di laut, Rumahnya tepat tepi laut di Kec. Herlang, Turungan Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Sakkar namanya. Seorang pemuda yang punya minat belajar yang tinggi. Itu penulis temukan saat dia belajar intensif bahasa Inggris dan inisiatifnya membantu anak anak kecil untuk rajin membaca buku. Dia jadi mengerti membagi ilmu itu tidaklah membuat ilmunya berkurang tapi malah bertambah.
Waktu luang Sakkar banyak diisi dengan membaca buku-buku sumbangan donatur Pustaka Bergerak Indonesia sebuah inisiasi Kak Nirwan Ahmad Arsuka (Almarhum) kepada perpustakaan Rumah Belajar Bersama dan tidak lupa secara jujur penulis katakan bahwa dia bermain games android–sebuah hobby digital kids dan pemuda zaman now.
Sakkar berada di atas perahu Pinisi Perla Anugerah Ilahi ini berdasarkan pengumuman yang dibuka oleh Doktor Horst Liebner–Pakar Maritim Pinisi Indonesia–akan melakukan pelayaran tanpa mesin sebagai bagian dari upaya pelestarian pengetahuan Pinisi yang telah hampir punah karena telah dikepung oleh modernisasi.
Pinisi apa sekarang yang tidak pakai mesin? Seandainya Perla Anugerah Ilahi sebagai satu satunya Pinisi yang mengandalkan angin saja untuk berlayar itu pakai bermesin, entah dimana lagi orang harus belajar. Tidak ada. Sebuah kemungkinan yang (hampir) pasti tidak ada.
Setelah mengurus kapal di pagi hingga siang di Bantilang (baca: pembuatan perahu) Pak Najib, Horst tertarik dengan ketekunan Sakkar dalam bekerja saat berada di Perla Anugerah Ilahi dan pemahamannya yang cukup baik tentang perahu dan laut. Horst yang tentunya ahli mengenal potensi Sakkar menawarkan untuk bergabung. Sakkar memang sangat berminat karena sebenarnya dunianya memang laut ditambah lagi dia sebenarnya pernah bertemu Horst pada Pelatihan Pelestarian Pinisi diadakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan XIX Sul Sel dan Tenggara pada Maret 2024 di Bira dan telah sedikit banyak tahu latar belakang Horst melalui kabar mulut dan berselancar di internet.
Tapi entah mengapa, tiba tiba saja, Sakkar bilang ‘Saya pikir-pikir dulu’.
Sakkar mengalami konflik bathin dihadapkan pada pilihan antara melaut bersama Horts dkk atau tetap belajar Bahasa Inggris di darat.
Di satu sisi, dia sadar betul bahwa peluang berlayar seperti di atas super langka ditambah lagi, dia sangat percaya bahwa ilmu dan pengalaman melaut yang dimiliki Horst dan beberapa orang seperti Ridwan Alimuddin dan Guswan adalah matang dalam mengelilingi lautan luas. Dia paham betul bahwa banyak ilmu baru yang bisa diperoleh dari nama nama orang orang penting disebut di atas yang reputasinya telah melayarkan perahu Pa’dewakang tanpa mesin ke Australia dan punya segudang pengalaman berlayar.
Di sisi lain, Sakkar merasa akan banyak ketinggalan pelajaran bila kehidupannya kembali di laut, setidaknya itulah pemikirannya saat ini. Ini karena dia telah cukup mengerti peta pelajaran Inggris dan ingin memahaminya sebelum kembali ‘terjun bebas’ di laut. Dia telah menetapkan target untuk menjadi orang yang mahir berbahasa asing dalam waktu tertentu dan ditambah lagi dirinya telah berhasil mengembangkan bakat dalam dunia literasi. Beberapa buku yang cukup serius telah dia selesaikan. Terdapat sebuah rencana yang cukup matang tentang rancangan hidup masa depan yang cerah tertancap baik dalam kepalanya.
Untungnya, rencana pelayaran Perla Anugerah Ilahi ini ada dalam sebulan atau beberapa bulan saja sehingga peluangnya untuk memahami ilmu pelayaran tanpa mesin terbuka lebar.
Horst memberikan waktu beberapa hari buat Sakkar untuk memilih jalan terbaik.
Pemahaman penulis, tinggal cerdas cerdas saja memanfaatkan waktu. Horst itu kan orang bisa bahasa Konjo, Indonesia, Inggris, Jerman sebagaimana negeri asalnya dan entah bahasa apa lagi. Semua itu berharga. Kalau cuma urusan bahasa, pastilah banyak istilah istilah baru yang bermunculan selama dalam pelayaran. Saat berlabuh, itu bisa dikaji secara detail dan dijadikan minimal kumpulan jadi buku saku istilah berdasarkan pengalaman pelayaran Pinisi.
Selamat merenung Sakkar dalam menentukan langkah ke depan. Rumahmu yang di tepi laut itu dimana tempat bermainmu adalah laut menawarkan pandangan luas, terlihat tanpa batas. Bahkan, sebegitu luasnya laut itu seolah bersambung ke langit. Alam tempat kelahiranmu itu cukup membantu berpikir terbuka untuk membuktikan bahwa anak pelaut Turungan Beru, bisa juga. Dan itu memang bisa. Toh, nenek dan kakek moyangmu, pelaut.
Zulkarnain Patwa
* Pengajar Bahasa Inggris di Rumah Belajar Bersama
* Pemerhati Pinisi

Keinginan untuk mengenal dunia luas ini membuat manusia berani untuk melangkah. Natalia, seorang pemudi periang dari Bilbao, Spanyol berkunjung ke Bira. Seorang diri berkeliling tanpa ada rasa takut sedikit pun yang terpancar di wajahnya. Alasannya sederhana. Kebaikan berbalas kebaikan. Tak heran, dia suka tersenyum yang membuatnya mudah diterima kemana pun dia pergi.
Sebagai seorang pelancong, Natalia suka berjalan kaki sepanjang kawasan wisata Bira. Ia menemukan pantai yang sangat indah, airnya yang sangat jernih dan hangat, sesuatu yang sangat berbeda dengan di pantai utara di Spanyol yang dingin. Pantai Bira itu berpasir putih yang cukup bersih dimana hal itu dia tidak temukan di tempat dimana dia tinggal. Pantai juga menawarkan ketenangan karena tidak ramai tidak seperti di Bali yang penuh keramaian.
Itulah mengapa Natalia betah dan memilih untuk tinggal selama seminggu. Sebagai konsekuensinya, dia akan lebih banyak menikmati diri bermandikan matahari di pantai dan jalan-jalan melihat pepohonan rindang yang tumbuh liar di atas batu karang dan sesekali beruntung melihat monyet-monyet berekor pendek khas sulawesi selatan dikenal dengan istilah Macaca Maura, keluar dari hutan semak-belukar mencari makanan ke daerah pemukiman tanpa pernah mengganggu manusia. Sedikitnya, itu menjadi nilai tambah yang jarang terpublikasikan ke media sebagai bagian dari objek wisata. Dia tertarik dengan semua itu. ‘Bila tidak, dengan segera dia akan pergi’, katanya.
Natalia pun juga sempat berkunjung di Kajang dimana kehidupannya masyarakatnya menyatu dengan alam. Dia sangat tertarik melihat cara hidup orang-orang Kajang yang sungguh berbeda dengan membandingkan kehidupan di Eropa yang serba modern dimana hal ini tidak bisa ditemukan di Eropa. Menurutnya, beberapa tempat di Indonesia kehidupannya modern tapi beberapa tempat hidup dengan cara tradisional seperti di Kajang.
Kesannya. Natalia harus berjalan dengan kaki telanjang tanpa sendal atau sepatu memasuki kawasan adat Kajang di Amma Toa yang membuatnya kesakitan untuk berjalan karena semua orang yang masuk tidak boleh memakai alas kaki guna sebagai bagian mendekatkan diri kepada alam. Hal ini untuk mengingatkan bahwa manusia terlahir dari tanah dan akan kembali ke tanah. Rasa sakit yang jarang dialami Natalia ini membuatnya punya ingatan panjang namun itu seolah terobati saat dia melihat anak-anak berjalan kaki dengan riang gembira dan berjalan dengan cepat, tanpa beban sama sekali. Itu manakjubkan!
Di kawasan Amma Toa, Orang-orang terlihat bahagia menjalani kehidupannya masing-masing karena tiap orang berhak punya pilihan. Bagi yang ingin hidup tanpa peralatan seperti listrik, mesin, handphone dan segala peralatan modern, bisa tinggal menetap di kawasan. Tapi bila ingin kehidupan modern, silahkan keluar dan saat mereka ingin kembali, segala kehidupan modern itu harus ditinggalkan. Begitulah Amma Toa bersama rakyatnya menjaga kelestarian alam ini.
Maka tidaklah mengherankan, senyum sumringah biasa kita temukan terpancar dari wajah-wajah orang desa karena selain mereka hidup dengan penuh kesederhanaan tanpa banyak kepentingan materi atau kekuasaan, mereka juga menyakini bahwa hubungan baik sesama manusia itu perlu dijaga agar manusia dapat hidup di alam ini dengan bahagia.
Natalia sempat mengunjungi rumah Amma Toa, Sang Kepala Adat yang rumahnya yang berlantai dan berdinding dari bambu dan bertemu. Karena orang-orang Kajang berpakaian hitam dan tiap pengunjung juga wajib berpakaian hitam menarik perhatian Natalia untuk bertanya. ‘Mengapa orang-orang berpakaian hitam?’, tanya Natalia. Amma Toa mengatakan, ‘Ketika manusia lahir, semuanya yang dia lihat hitam.’ Warna adat Kajang ini juga sebagai bentuk persamaan dalam segala hal; kesederhanaan, kekuatan dan persamaan derajat manusia di hadapan Sang Pencipta.
Sisi lain yang mengagumkan buat Natalia saat bertamu ialah sebuah keluarga dari pulau Kalimantan jauh-jauh berkunjung agar berkenan diobati oleh Amma Toa. Baginya, itu mengagetkan melihatnya secara langsung karena itu sepertinya tidak ditemukan Natalia di negaranya. Sebenarnya, bagi masyarakat Sulawesi Selatan, pengobatan tradisional disertai dengan ramuan dedaunan adalah tradisi yang bertahan lama. Pilihan rakyat ke Amma Toa karena dipercaya bahwa Amma Toa adalah orang yang tidak banyak tergantung pada kehidupan materi dimana doa-doanya membuat pintu langit lebih mudah terbuka untuk diterima oleh Sang Pencipta.
Yang terakhir dikisahkan oleh Natalia adalah kunjungannya di Sulawesi Selatan adalah Rantepao di Tanah Toraja. Dia turut serta pada acara kematian. Dia menemukan makna bahwa semakin banyak kerbau yang dikorbankan untuk orang yang meninggal, semakin baik juga kehidupan orang yang telah meninggal tersebut di alam baka. Sisi lain adalah power. Orang yang punya status sosial di masyarakat yang tinggi merasa perlu melakukan pengorbanan yang lebih besar.
Acara ini melibatkan banyak orang dan layaknya pesta yang panjang. Bersama dengan masyarakat setempat, Natalia juga turut diajak bergabung menikmati makanan dan ditawarkan untuk mencicipi beragam menu yang tersedia. ‘Coba ini, coba itu’, kata orang. Dan itu adalah keramahtamahan penduduk lokal dalam menyambut para tamu.
Dibalik itu, hal utama yang Natalia pikirkan tentang bagaimana orang orang Toraja memberi penghargaan kepada orang meninggal. Seperti kebanyakan orang-orang di dunia, orang meninggal itu dikubur sedangkan di Toraja tidak dikubur. ‘Kita manusia tidak melupakan tapi tidak melihatnya lagi. Itu sulit membayangkan bagaimana orang yang meninggal dikeluarkan dan dibersihkan sebagaimana orang-orang lakukan di Rantepao’, terangnya. Bila saja kejadian ini terjadi pada keluarga Natalia, ‘Saya tidak pernah membayangkan bagaimana saya membersihkan ibu saya’, tambahnya.
Begitulah keragaman budaya itu berlaku. Perbedaan itu terus terbentang di sepanjang jalan kehidupan. Mari kita simak yang berikutnya. Toraja juga terkenal dengan bangunan rumahnya yang unik. Awalnya Natalia berasumsi bahwa rumah itu kecil sebagaimana yang dia lihat melalui foto namun pada kenyataannya itu adalah rumah yang besar yang mempunyai seni arsitektur yang khas berbeda.
Begitulah! Betapa pentingnya manusia terus bertebaran di muka bumi agar dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang terkadang tidak semuanya tertera di dalam buku-buku. Kemampuan beradaptasi sebagaimana yang dilakukan Natalia gadis petualang berusia dua puluh empat tahun yang selalu tersenyum manis layaknya orang Indonesia yang ramah dan dengan pemikiran terbuka patut diikuti. Layaknya pepatah Melayu, ‘Dimana langit dijunjung, disitu bumi dipijak.’ And Natalia did it well.
Zulkarnain Patwa
Pengajar Bahasa Inggris di Rumah Belajar Bersama
* Note: Tulisan ini berdasarkan hasil wawancara podcast di Villa Malomo, Bira, Sulawesi Selatan pada Rabu, 14 Agustus 2024. Video menyusul.