(Berbagi Pengalaman Pribadi sebagai penyelam Pemula. Siapa tahu aja pembaca minat juga jadi penyelam)
Pada hari ke 1 pada praktek selam (25/07) di daerah Bira, saya merasa cukup percaya diri karena bagiku ini sama saja dengan tahun lalu. Yang membedakannya hanya persoalan kedalaman. Bila tahun lalu kedalamannya hanya sampai 5 meter, tahun ini sampai 9-10 meter. Dan yang sangat penting yaitu dapat terdaftar resmi sebagai anggota selam ADS (Association of Diving School)—Organisasi selam yang didirikan di Jepang pada 1980—bila lulus ujian. Alasannya sederhana, semua biaya sertifikasi dibayarkan oleh Dinas Pariwisata Bulukumba. Saya sengaja tidak menanyakan harga bila ingin melakukan penyelaman pribadi karena takut menyakiti pendengaranku di tengah kehidupan ini yang masih dalam serbuan Covid 19 yang membangkrutkan ekonomi rakyat kecil seperti diriku.
Ketika tiba kelompok kami dapat giliran diving, di sinilah saya lengah. Saya mempercayakan penuh pada rekan-rekan yang membantuku memasang peralatan selam. Saya tidak memeriksa berapa banyak pemberat yang kupakai meskipun sadar bahwa tubuhku yang lebih tinggi dan lebih besar ini butuh sekitar 8 x 2 kilo pemberat untuk mudah ‘mendarat’ di dasar laut. Kapasitas tabung gasku pun tidak kuperiksa. Saya sempat mendengar seorang rekan berkata bahwa tabung yang akan kupakai itu isinya tinggal 50 bar—angka yang tidak aman untuk menyelam. Tapi karena ingin secepatnya menikmati back roll entry (duduk di tepi perahu dengan membelakangi air dimana tangan kanan menekan masker untuk mencegah air masuk ke masker dan tangan kiri memegang tabung agar tidak lepas dari pengikat saat punggung menekan air), saya menganggap segala sesuatu beres.
Sukses melewati back roll entry, masalah mulai berdatangan. Mengosongkan kantong udara di BCD (Buoyancy Compensator Device)—pengatur daya apung—itu mudah tapi menuju dasar laut dengan kondisi seperti ini hampir mustahil walaupun mengikuti teori badan tegak lurus atau memiringkan kepala ke bawah sambil berenang. Tidak ada bantuan pemberat menyebabkan pemandu harus membantu mendorong ‘paksa’ agar saya dapat meluncur turun. Saya pun bergerak mencari beragam trik agar daya dorongku maksimal dengan terus menyelam dan hanya berhenti sejenak ‘mengobati’ sakit telinga karena tekanan dengan menelan air liur atau mendorong udara ke telinga. Di tengah perjalanan, karena merasa tubuh telah lebih mudah menuju ke arah yang lebih dalam, saya manfaatkan baik kesempatan ini dengan secepatnya ke dasar laut dan bergabung dengan rekan tim.
Seluruh tim terlihat enjoyable (senang-senang) saja namun tidak bagi tubuhku yang serasa masih sering ditarik ke atas menuju permukaan, terlebih saat arus bawah laut kuat. Dan agar tidak mudah diseret arus, saya menemukan cara ‘sembunyi’ yaitu dengan merapatkan badan ke pasir atau berpegang pada karang. Pada tahap inilah, saya menikmati diri dengan bersantai melihat beragam ikan yang warnanya unik yang seolah-olah menari nari di sekitar terumbu karang. Saya tidak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan pemandangan ini walaupun tabung gasku semakin sedikit. Barulah setelah sedikit lebih mengerti cara tetap mampu bertahan di dasar laut walaupun tanpa bantuan pemberat, saya melapor pada pimpinan regu bahwa jumlah tabung udara yang tersisa di bawah 20 bar. Mengetahui hal tersebut, pimpinan meminta untuk tidak ikut melanjutkan perjalanan. Ia menunjuk ke atas sebagai perintah naik ke permukaan. Saya patuh.
Pengalaman ini membuatku berbenah diri. Pada penyelaman hari ke 2 dan ke 3, saya tidak abai lagi. Rekan rekan selam selalu turut memeriksa secara detail seluruh kelengkapan selamku. Dan saat menyelam, saya more enjoyable (lebih dapat menikmati) dari pengalaman hari ke 1 dan ataupun tahun lalu.
* Judul di atas meminjam dari kalimat yang pernah dipakai oleh Bapak B. J. Habibie.
Zulkarnain Patwa
Peserta Selam Dinas Pariwisata Bulukumba
Anggota PDC (Pinisi Diving Club)
Staf Rumah Belajar Bersama