Kebersamaan dengan ibuku sangat singkat, hanya sampai kelas 3 (tiga) SD (Sekolah Dasar). Waktu itu, Tettaku–Panggilan untuk ayahku–yang bertugas sebagai Penilik Agama, setara dengan Kepala KUA (Kepala Urusan Agama,
di Kec. Bontotiro, Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan, dimutasi ke Kantor Departemen Agama sebagai Kepala Seksi. Ini satu tingkat di atas Penilik. Yah, itulah nomenklatur lembaga di bawah naungan Menteri Agama yang saat ini berubah jadi Kemenag (Kementrian Agama).

Setelah Tettaku dimutasi ke kota Bulukumba, Ummi’ku (Baca: Ibuku) beserta saudara yang lain ikut berpindah. Lain dengan diriku yang memilih tetap tinggal di kampung. Dengan pertimbangan belum lancar Bahasa Indonesia, susah beradaptasi dengan anak-anak kota yang kala itu informasinya nakal-nakal, suka naborongi (keroyok) orang kalau berkelahi dengan orang berasal dari kampung, susah pelajaran sekolahnya dan berbagai alasan lainnya membuatku menghindar bertemu orang kota. Aku lebih suka jadi orang kampung, kampungan pula.
Setelah tamat SD, aku memilih merantau menuntut ilmu di Pesantren Modern Putri IMMIM di Pangkep, Sul Sel. Dan kembali ke Bulukumba setelah menyelesaikan kuliah di Universitas Hasanuddin.
Kebersamaan yang singkat dengan ummi’ku tak menjadikanku jauh darinya. Waktu yang singkat namun cukup banyak mengukir kenangan indah dalam memori. Setiap malam sebelum tidur, dia selalu bercerita. Cerita fabel tentang pesan moral alias pelajaran hidup yang menarik imajinasi. Tak lupa, cerita tentang kisah-kisah heroik tokoh-tokoh lokal yang sangat menginspirasi. Ia pun mengajarkanku membaca dan menulis dengan bantuan cahaya pelita. Kalau sudah pagi, barulah nampak pada muka dan bulu hidung yang semuanya menghitam.
Ah, terlalu banyak kenangan dengan ummi’ku hingga saat dia berpulang ke Rahmatullah, 2 tahun setelah diriku kembali ke rumah dari perantauan, itu tentu sangat menyakitkan. Sejak saat itu ada ruang kosong yang tercipta dalam hati sanubari.
Saat ini, aku juga telah menjadi seorang Ibu dari empat orang putri. Namun yang dilakukan ibuku dulu tidak dapat kuteruskan kepada anak-anakku. Kebersamaanku dengan anak-anak cukup singkat karena setelah tamat SD, mereka merantau, merantaunya pun lebih jauh dariku dulu semasa sekolah. Tiga orang, Asse Nur Izza Maharani, Fitriah Ramdhanah Azzahra dan Silvia Salsabila bersekolah di Pesantren Gontor di Jawa Timur. Hanya satu orang yang bersekolah di Sul Sel yaitu Nabila Alamanda tepatnya Pesantren DDI Bantaeng karena pada masa itu, pandemi Covid 19 tidak memberikan ruang bagi anakku yang baru saja lulus SD untuk mendaftar di Gontor. Kusadari, tak banyak kenangan yang bisa kuukir indah dalam memorinya.

Hanya satu yang selalu kuusahakan buat anak anakkku tercinta. Saya selalu hadir di momen-momen pentingnya. Momen dimana orang tua sangat diharapkan kehadirannya dan tentu semua itu tak pernah kulewatkan; Mengambil raport semasa SD, menjadi saksi alias menonton saat mereka berlomba dimanapun dan Kejuaraan apapun mereka ikuti. Menjadi saksi mereka yang menjadi santri Gontor pada pagelaran akbar seperti Panggung Gembira, Drama Arena, Laksana Gembira, Gebyar Seni Darussalam, Mengantar Fitriah Ramdanah Azzahra menuju Mesir, mengikuti Jambore Muslim Pramuka s e Dunia (World Muslim Scout Jambore) di Bogor, Jawa Barat.

Dan yang paling membahagiakan saat aku menghadiri acara wisuda Azze Nur Izza Maharani, anak pertama setelah menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Studi Agama di Universitas Darussalam Gontor. Momen dimana keberhasilannya dipersembahkan untuk kedua orangtuanya. Jiwaku terpanggil untuk tidak melewatkan peristiwa capaian pertama anakku dalam meraih sarjana. Sedikitnya, aku bisa menapaki jejak orang tuaku yang berhasil mensarjanakan semua anaknya yang berjumlah tujuh orang. Ya! Pendidikan telah menjadi prioritas utama dalam keluarga.
Hanya itu yang bisa kulakukan untuk anak-anakku. Apakah itu menjadi kenangan yang akan mereka ingat suatu saat nanti? Entahlah! Yang jelas, keinginanku sebagai ibu ialah ingin selalu hadir bersamanya di momen-momen penting dalam kehidupannya. Itu memang singkat tapi aku bahagia bersama anak anakku. Dalam bayanganku, seperti itulah kebahagiaan ummi’ku saat aku bersamanya. Singkat!
Selamat Hari Ibu.
Fatmawati Patwa

Tinggalkan Balasan